ternak ikan mas

Ternak Ikan Mas, Mudah-mudahan Bermanfaat ...

MALANG nian, nasib transmigran asal Tasikmalaya ini. Sekitar 10 tahun lalu, mereka berangkat ke Aceh untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Waktu itu, mereka berangkat dengan seluruh keluarga. Seluruh kekayaan yang dimiliki di kampung asal, kalaupun ada, dijual atau dihibahkan kepada sanak keluarga. Mereka berangkat dengan harapan tinggi.Ternyata harapan tinggal harapan. Dalam keadaan ekonomi lebih buruk dari sewaktu berangkat, mereka terpaksa kembali ke kampung halaman semula. Mereka kembali pulang karena terusir akibat keamanan tidak terjamin, kerusuhan yang terus-menerus mengancam jiwa di Aceh.
Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) yang memantau kesulitan hidup pengungsi Aceh ini, kemudian tergerak untuk turut meringankan beban hidup mereka. Pendekatan dilakukan dengan pengungsi yang antara lain berada di Desa Karangmukti, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Jumlah bantuan yang disiapkan untuk hal ini sekitar Rp 10 juta.
Semula, mereka meminta bantuan diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumsi. Tentu saja hal tersebut sulit dipenuhi. Setelah dilakukan beberapa kali pendekatan, mereka pun berbulat tekad untuk mengusahakan peternakan ikan mas, suatu usaha yang memang pernah ditekuninya.
Mereka akan menggarap dengan cara sewa, masing-masing sekitar 100 meter persegi. Rencananya setiap kelompok, akan memperoleh bantuan sekitar Rp 1 juta yang akan digunakan untuk penggarapan kolam, peralatan, bibit ikan, dan lain-lain.
Bantuan tahap pertama telah diserahkan Kamis (31/5) untuk kelompok pertama yang dipimpin Endang. Tiap kelompok terdiri dari lima orang. Endang mengemukakan, awal Juni ini anggotanya akan mulai menanam ikan mas.
Di Desa Karangmukti terdapat 32 KK (106 jiwa), kini mereka hidup dengan menumpang di rumah keluarganya, tanpa memiliki bekal hidup sama sekali sehingga lebih banyak mengandalkan bantuan orang lain. Mereka berasal dari Proyek Transmigrasi UPT II Patek, Lageum, Setiabhakti, Aceh Barat.
Untuk menyambung hidup, mereka bekerja serabutan apa saja. Bahkan, beberapa di antaranya bersedia menjadi pembantu rumah tangga, suatu pekerjaan yang sebenarnya sama sekali tidak masuk hitungan sebelumnya. "Yang penting bisa memberi makan keluarga dengan halal," kata salah seorang di antara mereka.
PULUHAN keluarga yang terusir dari Aceh tersebut, hingga kini memang masih tetap terkatung-katung tidak menentu di daerah asalnya Tasikmalaya. Sekadar untuk bernaung saja, mereka menempati emper rumah, kamar, atau ruangan lainnya yang bisa dijadikan tempat berteduh. Bahkan ketika pertama kali datang, ada yang tinggal di ruangan yang sebelumnya dijadikan kandang ayam.
Dalam keadaan tidak menentu itu, mereka kebingungan ke mana harus mengadu. Menurut mereka, sebelumnya mereka dijanjikan akan ditampung di proyek permukiman kembali yang akan dibangun Pemda Tasikmalaya di Cempakasari, Kecamatan Bojonggambir. Tetapi, sampai 24 Mei mereka masih tetap tinggal di rumah keluarga atau penduduk lainnya yang menaruh rasa iba.
Bahkan untuk menyambung hidup, mereka bekerja serabutan apa saja. Istri mereka terpaksa meninggalkan suami dan anak-anaknya hanya untuk mempertahankan hidup keluarganya. Sebagian bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kota Tasikmalaya atau Bandung. Sebagian lainnya bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia, Taiwan, dan Arab Saudi.
Sekitar 32 KK (106 jiwa) yang kini menumpang hidup di Salawu, Tasikmalaya, itu sebelumnya menempati proyek transmigrasi UPT II Patek, Lageum, Setiabhakti, Aceh Barat. Mereka menceritakan, pengusiran dilakukan oleh orang-orang bersenjata. Sebelumnya mereka diancam agar dalam tempo dua hari sudah meninggalkan rumahnya. Tetapi, belum lagi dua hari, mereka sudah dipaksa mengosongkan rumah.
Akibatnya, barang-barang yang masih bisa diangkut, berusaha untuk dibawa. Sedangkan yang lainnya dijual. "Motor yang harganya Rp 1 juta, dijual hanya Rp 350.000. Pokoknya asal jadi duit," kata Kurnaedi, pensiunan guru.
Setelah sepuluh tahun menggarap lahannya, tanaman rambutan dan jeruk serta buah-buahan lainnya sudah tinggal memetik hasilnya. Tetapi, dengan rasa berat, tempat yang jadi tumpuan masa depan dan hari tuanya itu harus ditinggalkan dengan begitu saja. "Yang paling menyakitkan, kita masih di halaman rumah, barang-barang seperti kasur dan lainnya yang tidak bisa dibawa sudah dijarah di depan mata kita," kenangnya.
Akhirnya dengan susah payah mereka menuju Medan dan kemudian tinggal di tempat penampungan. "Untung orang Medan baik-baik," katanya.
Satu-satunya barang yang hingga kini masih tetap dipertahankan hanyalah sertifikat tanah mereka. Tetapi, mereka tidak tahu, untuk apa dan bisa digunakan apa surat-surat tanah tersebut. "Untuk kembali lagi, rasanya tipis," kata penduduk lainnya.
Harapan lama terkuburkan, harapan baru mulai ditanam. Itulah yang diharapkan dari DKK. Ternak ikan mas bantuan pembaca Kompas mudah-mudahan dapat memenuhi harapan mereka. (Her Suganda)